Selasa, 30 Oktober 2007

konsorsium stanford

Penerapan Hypertext Teknologi dalam Pembelajaran

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Perkembangan Teknologi Komputer dan penerapannya dalam pendidikan

Pada abad ke 21 ini, perkembangan teknologi komputer terjadi dengan sangat pesat sekali. Dalam segala segi, mulai dari perangkat keras ( hardware ), perangkat lunak ( software ), dan bahkan perangkat pengguna ( brainware ), terjadi perlombaan yang seperti tiada habisnya untuk mengejar kemajuan teknologi. Perbaikan dan peningkatan versi terjadi dalam hitungan menit, bukan lagi hari atau bulan.

Jika terjadi peningkatan kemampuan dalam hardware, maka software akan segera menyusul dengan cepat. Demikian juga brainware, yang akan segera menyusul kemajuan software, dan seterusnya. Siklus ini terjadi secara berkelanjutan dan bersama-sama (serial dan paralel). Orang yang tidak mengikuti perkembangan akan tertinggal cukup jauh. Sedangkan untuk mengikuti seluruh perkembangan, sepertinya tidak dimungkinkan karena besar dan pesatnya perkembangan tersebut. Yang terbaik adalah mengikuti perkembangan, tetapi menggunakan sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Pengembangan ini sejalan dengan usaha pengaplikasian teknologi komputer dihampir

semua bidang. Mulai dari bidang bisnis, pemerintahan, militer, bahkan juga dibidang pendidikan. Dalam lima dasawrsa terakhir, keterlibatan perguruan tinggi dalam pengembangan teknologi komputer sangat pesat. Beberapa perguruan tinggi di Amerika bahkan terlibat juga dalam pengembangan teknologi komputer ini. Misalnya University of Pennsylvania yang ikut mengembangkan komputer generasi pertama ENIAC ( Electronic Numerical Integrator and Computer ) atau Stanford Research Institute yang mengembangkan ERMA (Electronic Recording Machine Accounting)[1]. ENIAC dibangun berdasarkan permintaan dari US Army, sedangkan ERMA adalah permintaan dari Bank of America. Demikian juga dengan pengembangan perangkat komputer dengan fungsi-fungsi barunya yang dilakukan oleh misalnya Douglas Engelbart dan rekan-rekannya dari Stanford Research Institute pada akhir tahun 1960-an [2] .

Selain keterlibatan dalam pengembangan, keterlibatan dalam penggunaanpun berkembang tidak kalah pesatnya. Tiga dekade terakhir menunjukkan banyaknya keterlibatan perguruan tinggi dalam penggunaan komputer, terutama dalam bidang pendidikan. Termasuk beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Misalnya Universitas Gajahmada di Yogyakarta, Universitas Indonesia di Jakarta, atau Universitas Sriwijaya di Palembang. Pada awalnya penggunaan komputer adalah komputer besar jenis Mainframe. Komputer ini biasanya digunakan untuk pengelolaan data penelitian, sehingga sering dilengkapi dengan program-program aplikasi statistik.

Pada awal tahun 1990-an, setelah teknologi Personal Computer (PC) berkembang dengan pesat , penggunaan PC meningkat sangat pesat. Termasuk di dalam bidang pendidikan. Banyak perguruan tinggi melengkapi sarana pendidikannya dengan PC. Kemampuan mengoperasikan PC mulai menjadi kompetensi yang dibutuhkan. Program perangkat lunak yang tersedia juga sudah mulai beraneka ragam, diantaranya :

· Program Pengolah Kata

· Program Pengolah Gambar ( gambar seni, gambar design, peta dan sebagainya)

· Program Pengolah Data ( Data Statistik, data bisnis, dan sebagainya )

· Program Bantu Manufaktur, dan lain sebagainya.

Semakin banyak perguruan tinggi memasukkan penggunaan program aplikasi tersebut ke dalam kurikulum sesuai dengan keperluan di bidang studi yang ada. Bahkan perguruan tinggi yang mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan komputer-pun semakin banyak ( misalnya STI&K, STIMIK Gunadarma, STMIK Budi Luhur ) – setelah mulai muncul di awal tahun 1980-an. Beberapa mulai mendirikan Fakultas Komputer atau Informatika ( misalnya Universitas Indonesia, Universitas Gajahmada, ITB) , yang lainnya memasukkannya sebagai salah satu jurusan dibawah Fakultas yang sudah ada (misalnya Universitas Trisakti ).

Pada akhir tahun 1990-an memasuki abad ke 21, setelah penggunaan jaringan komputer dan internet semakin meluas, banyak perguruan tinggi melengkapi diri dengan fasilitas jaringan komputer tersebut. Baik jaringan komputer lokal ( Local Area Network / LAN ), jaringan komputer kota ( Metropolitan Area Network / MAN) ataupun jaringan luas ( Wide Area Network / WAN ). Beberapa perguruan tinggi bahkan sudah melengkapi diri dengan fasilitas jaringan antar kampus.

Mata kuliah yang berkenaan dengan pengaplikasian program komputer juga semakin banyak. Misalnya untuk Fakultas Ekonomi banyak digunakan program aplikasi akuntansi seperti Dac Easy Accounting, MYOB, dan Peachtree, untuk Teknik Sipil program SAP dan Primavera, Teknik Industri dengan CAD/CAM –nya, Geografi atau Kartografi dengan MAP Info, Matematika dengan Math CAD, Statistik dengan SPSS atau TSP, Design Grafis dengan Photoshop atau Macromedia, dan lain sebagainya. Termasuk dalam bidang pendidikan, sudah banyak program-program aplikasi simulasi atau program bantu yang sudah dibuat untuk mempermudah proses pembelajaran. Misalnya program aplikasi simulasi dari Mikrodata atau dari Widyaloka untuk membantu siswa sekolah dasar belajar matematika atau bahasa.

Pesatnya perkembangan penggunaan program aplikasi komputer dalam bidang pendidikan ini ternyata tidak diikuti dengan pemerataan kesempatan penggunaan teknologi tersebut. Hal ini terjadi karena tidak semua perguruan tinggi mengikuti perkembangan tersebut. Beberapa perguruan tinggi tidak memiliki sarana komputer tersebut. Atau kalaupun memiliki, karena jumlahnya sedikit atau karena tidak ada pengelolanya, maka sarana tersebut jarang digunakan atau tidak digunakan secara optimum. Hasilnya adalah banyak sekali lulusan perguruan tinggi yang masih belum ‘melek teknologi’ atau ‘gagap teknologi (gaptek)’. Bahkan beberapa adalah lulusan dari perguruan tinggi dibidang komputer.

Di lingkungan perguruan tinggi sendiri, karena keterbatasan sarana dan kurangnya pelatihan, banyak sekali dosen yang tidak mampu mengoperasikan komputer atau tidak mengikuti perkembangan. Sehingga penggunaan komputer, kalaupun ada – sangat minim sekali. Biasanya sebatas fasilitas untuk mengetik atau membuat bahan presentasi. Tidak menyentuh kegunaan untuk distribusi materi kuliah, sarana diskusi, ataupun media evaluasi hasil pembelajaran.

Dalam beberapa kasus, perguruan tinggi memiliki komputer yang cukup ( sebagian dari hibah atau bantuan ) . Tetapi karena tidak memiliki dana yang cukup, tidak mampu membeli perangkat lunak yang memadai sehingga penggunaannya masih kurang optimal. Yang lain memiliki perangkat keras dan perangkat lunak yang memadai, tetapi karena penggunanya kurang terlatih – hasilnya masih tetap kurang optimum. Sehingga untuk mencapai penggunaan optimum, dibutuhkan keselarasan antara perangkat keras, perangkat lunak, perangkat pengguna, serta kebijakan dari perguruan tinggi itu sendiri.

Beberapa perguruan tinggi telah melengkapi diri dengan prasarana jaringan, baik jaringan lokal maupun jaringan internet. Mereka menyebut dirinya dengan ‘e-learning campus’. Mahasiswa dan dosen sudah dapat terhubung dalam area lokal, dan mereka juga dapat melakukan koneksi internet dari area kampus secara wireless (tanpa kabel). Pengumpulan tugas mahasiswa, pendistribusian materi perkuliahan, ataupun diskusi sudah dapat dilakukan secara on-line. Bimbingan skripsi atau thesis dapat dilakukan melalui e-mail atau FTP server. Sayangnya kampus seperti ini masih sangat sedikit sekali jumlahnya di Indonesia.

2.Penerapan Teknologi Jaringan Komputer dalam pendidikan

Pada awal perkembangan penggunaan PC, konsep PC masih lebih banyak ke arah penggunaan personal yang berdiri sendiri. Cukup jauh bedanya dengan komputer generasi pendahulunya ( Mainframe ataupun Mini Computer) yang memiliki satu CPU (Central Processing Unit) dengan banyak Dump Terminal. Dalam konsep Mainframe, beberapa orang yang menggunakan komputer akan menggunakan secara bersama (sharing) media pemrosesan, media penyimpanan, program aplikasi, dan bahkan datanya. Proses ini sering disebut dengan istilah aplikasi satu tingkat ( One Tier Application ). Seiring dengan berkembangnya teknologi jaringan dalam PC, komputer yang tadinya berdiri sendiri sudah mulai dapat terhubung dalam jaringan. Adanya sistem operasi jaringan yang bekerja dalam platform PC juga mendorong berkembangnya proses dalam PC. PC yang tadinya hanya digunakan untuk keperluan personal, sudah mulai merambah ke dunia usaha atau bidang-bidang pekerjaan yang non personal. Ini meningkatkan kemampuan PC dalam pengolahan data.

Dalam dunia PC, mulai lahir istilah jaringan lokal atau LAN ( Local Area Network), dimana beberapa komputer terhubung dalam satu area geografik (misalnya dalam satu gedung atau lokal ). Berkembangnya perangkat pendukung jaringan juga ikut mendorong pengembangan LAN, sehingga bisa merambah ke area yang lebih luas seperti MAN ( Metropolitan Area Network ) dimana beberapa LAN yang berdekatan terhubung menjadi satu jaringan maya, atau bahkan menjadi WAN (Wide Area network) yang memanfaatkan jaringan internet sebagai penghubung. Dalam tiga tahun terakhir ini bahkan berkembang jenis jaringan baru yang sering disebut dengan PAN (Personal Area Network), dimana beberapa perangkat komputer portable ( Laptop, PDA atau Smartphone) terhubung dalam satu jaringan lokal yang tidak permanen – secara wireless ( Nir kabel ).

Perkembangan jaringan komputer ini memungkinkan pemanfaatan yang lebih mendalam dibidang pendidikan. Pendistribusian materi kuliah secara on line, pengumpulan tugas melalui e-mail atau FTP server, diskusi – baik sinkronus ataupun asinkronus, pemutakhiran materi kuliah, dan bahkan informasi mengenai link dari materi matakuliah, serta umpan balik mahasiswa dapat dilakukan secara lebih mudah dan sederhana.

Seiring dengan perkembangan kemampuan jaringan komputer ini, perangkat keras berkembang mendukung kemapuan jaringan. Sebagian besar komputer Laptop keluaran terbaru sudah dilengkapi dengan NIC ( Network Interface Card atau Kartu antarmuka Jaringan ) yang memungkinkan koneksi ke jaringan LAN tanpa ada tambahan perangkat keras apapun. Cukup dengan satu kabel UTP yang dihubungan ke perangkat Switch atau HUB, maka komputer laptop sudah menjadi anggota jaringan. Selain itu, Laptop juga sudah dilengkapi dengan fasilitas komunikasi Nir kabel seperti Bluetooth atau WiFi yang memungkinkan terjadinya pembentukan Personal Area Network (PAN) instant. Selain Laptop, perangkat portable lain seperti PDA ataupun Smartphone juga sudah dilengkapi fasilitas Bluetooth atau WiFi ini, sehingga PAN yang terbentuk bisa terdiri dari anggota-anggota yang heterogen. Pemanfaatan secara benar fasilitas-fasilitas ini dapat menggantikan fungsi LAN dengan Desktop Komputernya, dimana PAN yang terbentuk akan lebih murah, fleksibel, dan praktis.

Pemanfaatan PAN ini bisa terjadi diluar kelas ataupun didalam kelas. Di luar kelas PAN bisa dimanfaatkan sebagai sarana diskusi asinkronus, arena mailling list, akses perpustakaan digital (digital library), sarana pengumpulan tugas mahasiswa dan lain sebagainya. Sedangkan didalam kelas dapat digunakan sebagai sarana pendistribusian materi kuliah berikut link-nya, sarana diskusi kelas sinkronus, sarana evaluasi mahasiswa, serta penyampaian feed back atau pertanyaan dari mahasiswa.

PAN bisa dijadikan sebagai prasarana hubungan antara Dosen-mahasiswa, mahasiswa-mahasiswa, mahasiswa- perpustakaan, dan mahasiswa dengan lembaga atau biro administrasi. Bahkan jika dilengkapi dengan fasilitas internet, dapat menghubungkan mahasiswa dengan dunia luar.

3. Kesenjangan Pengetahuan siswa dan permasalahannya dalam pembelajaran

Salah satu permasalahan yang sering dialami seorang guru atau dosen yang mengasuh matakuliah atau pelajaran tingkat lanjut adalah ketidak seragaman dasar pengetahuan yang dimiliki siswanya. Hal ini terutama untuk matakuliah-matakuliah dengan prasyarat. Misalnya di Fakultas Ekonomi, untuk bisa mengikuti mata kuliah Ekonomi Pembangunan mahasiswa disyaratkan sudah lulus mata kuliah Ekonomi Moneter, Ekonomi Makro dan Ekonomi Mikro. Di jurusan Teknik Informatika untuk mengambil mata kuliah Analisis dan Perancangan Sistem mahasiswa diharuskan sudah lulus mata kuliah Pemrogramman, Sistem Informasi Manajemen, dan Basis Data, dan lain sebagainya.

Pada proses pembelajaran, seringkali dosen merasakan ada sebagian mahasiswa yang masih sangat kurang pada materi-materi tertentu sedangkan sebagian lainnya sudah sangat menguasai materi tersebut. Sebagai jalan tengah, banyak dosen yang sedikit me-review materi-materi yang dianggap penting tapi kurang dikuasai oleh sebagian mahasiswa tersebut. Hal ini juga sering terbawa ke dalam buku-buku teks, hand out perkuliahan ataupun diktat matakuliah. Bagi mahasiswa yang sudah menguasai materi tersebut, pengulangan ini dirasakan membosankan dan membuang waktu saja. Tapi bagi mereka yang masih belum memahami, pengulangan yang hanya bersifat review ini sering kali dirasakan masih sangat kurang.

Dalam perkuliahan, seringkali dosen hanya memberikan refrensi berupa judul buku dan pengarang atau artikel dari jurnal sebagai rujukan terhadap kekurangan mahasiswa dari standar pada matakuliah yang diasuhnya. Bagi mahasiswa, hal ini hanya sedikit sekali membantu, karena dalam kenyataan cukup jarang mahasiswa yang mau meluangkan waktu untuk mencari dan mempelajari buku-buku tersebut. Bagi kebanyakan mahasiswa, buku wajib saja sudah cukup berat untuk dicari dan dipelajari. Sehingga kecil kemugkinan mereka mau mencari bacaan tambahan, walaupun mereka menyadari kekurangan yang ada pada diri mereka.

Dengan adanya permasalahan ini, sering terlihat adanya ketimpangan hasil yang cukup tinggi dalam nilai ujian atau evaluasi. Beberapa siswa bisa memiliki nilai cukup tinggi, sedangkan sebagian lainnya sangat rendah. Beberapa dosen menambahkan tugas baca (reading assigment) sebagai sarana pemerkaya, yang memaksakan mahasiswa untuk membaca apa yang sebenarnya menjadi prasyarat dasar kemampuan mereka. Beberapa yang lain memberikan tugas pembuatan paper dengan anggapan mahasiswa akan membaca refrensi-refrensi dasar tersebut pada pembuatan tugas. Sebagian cukup berhasil, tetapi sebagian lain masih kurang memuaskan karena tidak mencapai hasil yang diharapkan. Sering kali mahasiswa hanya “mencontek” atau bahkan “meng-upahkan” tugas pembuatan paper tersebut. Ini terjadi karena semata-mata mereka hanya memburu hasil akhir, dan bukan berusaha menjalani proses sesuai dengan yang diharapkan dosen [3].

Setelah selesai mengikuti matakuliah, walaupun dengan standar yang sebenarnya masih kurang – mahasiswa yang bersangkutan dapat mengikuti matakuliah lanjutannya. Hasilnya kurang lebih sama, dengan bekal yang kurang maka akan menghadapi permasalahan yang sama dengan kejadian sebelumnya. Dan kalau beruntung, akan terus berlanjut hingga menyelesaikan seluruh perkuliahan. Hasilnya akan terlihat pada saat ujian komprehensif atau bahkan pada saat sidang / seminar hasil penelitiannya. Dan kalau beruntung lagi, mahasiswa tersebut akan lulus dari ujian akhir sehingga mendapatkan gelar kesarjanaanya. Hasilnya adalah lulusan yang tanpa ( atau dengan sedikit ) bobot. Lulusan ini akan sulit memperoleh pekerjaan, atau kalaupun bekerja pada bidangnya akan mendapatkan banyak permasalahan. Banyak sekali lembaga pendidikan yang tidak perduli pada proses pendidikan, dan hanya mementingkan jumlah output atau lulusannya saja [4]. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh segelintir orang tidak bertanggung jawab yang menjual gelar-gelar akademis secara ilegal [5]. Dan gelar ini banyak dibeli oleh orang-orang yang semestinya cukup terpelajar, atau bahkan tokoh masyarakat.

Permasalahan kesenjangan pengetahuan ini dapat sedikit dikurangi jika pada awal perkuliahan dosen sudah memberikan materi-materi terkait denga prasyarat dasar yang harus dimiliki siswa. Misalnya untuk matakuliah Ekonomi Moneter, maka dalam materi perkuliahan juga sedikit dimasukkan teori-teori Ekonomi Mikro dan teori Ekonomi Makro. Untuk lebih efisien, materi ini dapat didistribusikan dalam bentuk elektronik file ( misalnya hypertext format ). Sehingga bagian-bagian yang merupakan prasyarat dapat diletakkan pada halaman-halaman tertentu yang tidak perlu dilihat oleh semua siswa. Jika siswa merasa kurang dalam bagian materi tersebut, maka siswa yang bersangkutan bisa mengunjungi halaman tersebut untuk pendalaman atau pemerkayaan pengetahuannya. Hal seperti ini sudah cukup banyak dilakukan di dunia industri teknologi informasi, dimana vendor-vendor besar teknologi seperti Microsoft, Oracle, ataupun Cisco banyak membuat buku-buku elektronik berbasis Hypertext atau yang sejenisnya untuk memudahkan orang dengan latar belakang kemampuan yang berbeda mempelajari sesuatu teknologi yang sama.

Jika kesenjangan ini dapat diatasi, maka kualitas lulusan akan meningkat secara rata-rata. Sehingga lulusan akan lebih mudah memasuki lapangan pekerjaan karena memiliki kemapuan yang standar. Demikian juga dengan siswa-siswa SLTA pada saat mengikuti ujian akhir, seperti UAN misalnya. Tidak perlu terjadi kesenjangan yang tinggi, dimana ada beberapa sekolah yang tingkat kelulusannya mencapai 100%, sedangkan sekolah lain ada yang tingkat ketidak-lulusannya mencapai 100% [6]. Dengan menjaga standar mutu per semester, yang berawal dari standarisasi mutu pada setiap pokok bahasan materi, maka diharapkan standar mutu lulusan akan menjadi lebih baik.

B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian

Kesenjangan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh para siswa terjadi karena hasil akumulasi. Pada saat mengikuti pelajaran. Siswa dihadapkan pada satu paket materi yang sudah memiliki tujuan instruksional sendiri. Semua harus diikuti dari awal sampai akhir. Sering terdapat bagian-bagian yang belum dikuasai oleh siswa, karena merupakan prasyarat yang terdapat pada materi pelajaran sebelumnya.

Dalam tujuan instruksional, biasanya berisi ‘siswa dapat melakukan sesuatu’ setelah mengikuti atau menyelesaikan materi ini. Dan bukan siswa memahami sesuatu setelah menyelesaikan materi ini. Evaluasi yang diadakan oleh para guru juga arahnya mengetahui pencapaian dari tujuan instruksional, yaitu apakah siswa dapat melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh guru.

Materi pembelajaran yang bersifat linier, sangat membatasi siswa pada saat akan melakukan pendalaman atau pengayaan pengetahuan . Siswa terikat harus mempelajari sesuatu sesuai dengan apa yang sudah disediakan dalam buku-buku teks. Dengan dasar pengetahuan yang berbeda, serta cara berpikir yang berbeda, maka hasil yang diharapkan akan sulit untuk tercapau secara optimum.

Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu perubahan, baik dalam cara penyusunan materi ataupun dalam media yang digunakan. Materi harus disusun dalam suatu domain yang sedemikian rupa sehingga siswa bisa menentukan sendiri apa saja yang perlu dipahaminya. Media pendukungpun juga harus dibuat sedemikian rupa sehinga bisa mensuport kebutuhan siswa tersebut.

Disain instruksional yang bisa mendukung terjadinya hal ini diantaranya adalah Model Disain Hypertext. Dalam disain ini, materi disusun sedemikian rupa dalam satu domain dengan berbagai tema dan perspektif sehingga memungkinkan siswa untuk membangun sendiri kognitif dalam dirinya berdasarkan batasan yang diberikan oleh pendisain. Media yang digunakan diantaranya adalah hypertext. Hypertext mampu memadukan beberapa media sesuai kebutuhan, dan bisa pula menyediakan link ke bagian-bagian lain yang bisa memperkaya atau memperdalam pemahaman siswa.

Perpaduan antara perubahan model disain dan media pembelajaran yang digunakan diharapkan dapat membantu siswa dalam pemahaman materi yang perlu dipelajarinya. Sinergi ini diharapkan dapat meningkatkan mutu siswa terhadap materi pembelajaran dan mengurangi kesenjangan yang ada. Lebih jauh, siswa dapat menggunakan perangkat ini dalam meningkatkan kemampuan analitiknya, terutama untuk melihat hal-hal yang kompleks dan bukan berasal dari satu domain sederhana.

C. Pembatasan Fokus Penelitian

Penelitian ini akan terfokus pada interaksi antara siswa dengan media hypertext, dimana hypertext ini akan disusun oleh guru yang bersangkutan dengan menggunakan methode Hypertext Disain Model.

Objek penelitian adalah siswa dari Sekolah Menegah Umum yang memiliki kemampuan akses penggunaan komputer. Hal ini diperlukan karena dalam mengakses atau menggunakan hypertext diperlukan sedikit kemapuan ber- komputer. Sekolah yang dipilih juga adalah sekolah yang sudah memiliki sarana laboratorium komputer. Guru yang bersangkutan juga harus memahami penggunaan hypertext dan model disain berdasarkan hypertext.

Untuk penelitian ini, yang dipilih sebagai objek penelitian adalah SMU Lab School di Jalan Rawamangun. Pertimbangannya adalah SMU ini sudah memiliki Laboratorium yang cukup memadai serta siswanya juga sudah memiliki kemampuan dasar menggunakan komputer. Demikian juga dengan gurunya, sebagian besar sudah memiliki kemampuan menggunakan komputer.

Untuk matapelajaran yang dipilih adalah pelajaran Sejarah. Pertimbangannya adalah Sejarah termasuk salah satu matapelajaran yang memiliki isi domain cukup kompleks. Selain itu, kejadian sejarah juga bisa dilihat dari berbagai sudut pandang sehingga memungkinkan siswa membangun kognisinya secara fleksibel sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Kejadian sejarah dapat dilihat dari aspek politik, ekonomi, seni, budaya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pelajaran sejarah dapat dipilih untuk penelitian ini karena konten yang cukup kompleks dan kemungkinan tidak linier.

Efektivitas interaksi siswa dengan hypertext dapat diketahui dengan melakukan penelitian tindakan. Melalui penelitian tindakan ini, diharapkan dapat diketahui tanggapan siswa terhadap penggunaan hypertext terhadap perubahan internal yang terjadi dalam diri siswa dari sisi kognitif. Demikian juga tanggapan dari para guru berdasarkan observasinya terhadap para siswa. Dengan penelitian tindakan, diharapkan model disain, konten, serta bentuk hypertext bisa terus diperbaiki berdasarkan temuan yang terjadi dilapangan, baik berdasarkan pengamatan peneliti, pendapat dari siswa, pendapat guru, atau pandangan dari para pakar yang terkait dengan penelitian ini.

D. Perumusan Masalah

Dari hasil identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah penggunaan hypertext sebagai media bisa memberikan manfaat khusus bagi siswa dalam hal pemahaman materi pelajaran sejarah

2. Apakah penggunaan hypertext sebagai media bisa memberikan manfaat kepada guru dalam hal proses pembelajaran sejarah di kelas.

3. Upaya apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan hypertext dalam proses pembelajaran sejarah

4. Apakah Hypermedia disain model bisa digunakan sebagai pendamping atau pelengkap Sistem Desain Instruksional konvensional dalam pelajaran sejarah

5. Permasalahan apa saja yang muncul dari penggunaan Hypermedia Disain Model dan media Hypertext dalam pembelajaran Sejarah, baik pada guru maupun pada siswa.

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Akademis.

Penelitian ini mengkaji dan mengembangkan penggunaan Hypertext sebagai salah satu bentuk media dalam proses pembelajaran, terutama dalam pembelajaran sejara di sekolah menengah umum. Untuk itu perlu dibuktikan efektivitas dan validitas dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran . Jika hal ini dapat dibuktikan, maka Hypertext bisa menjadi pertimbangan dalam penggunaan media pembelajaran. Selain itu, hypermedia disain model juga bisa menjadi pelengkap atau pendamping dari instrukstional disain model konvensional.

2. Kegunaan Praktis.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat digunakan oleh pada guru atau dosen untuk mengembangkan materi pembelajaran berbasis hypertext. Jika memungkinkan, hypertext ini juga dapat dikembangkan untuk berbagai macam materi ajar terutama yang memiliki karakteristik sesuai dengan penggunaan hypertext.

Selain itu, hypermedia desain model juga dapat digunakan oleh para guru, dosen atau disainer untuk mendisain materi ajar yang bisa lebih mengakomodasi kebutuhan siswa. Terutama siswa dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda.

Penggunaan hypermedia disain model dan hypertext ini memungkinkan perluasan serta perbaikan materi ajar secara lebih fleksibel. Interaksi dengan domain pengetahuan yang lainpun akan lebih mudah dilakukan, sehingga pengayaan materi ajar bisa lebih mudah dan efisien dilakukan.

3. Kegunaan Bagi Peneliti

Penelitian ini berupaya untuk melakukan perbaikan dan pemecahan masalah pada sistem pembelajaran, terutama melalui penggunaan hypertext. Sesuai dengan metodologi yang digunakan, yaitu penelitian tindakan, maka diharapkan ada produk yang dapat disumbangkan bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk penelitian lebih lanjut, baik pada matapelajaran lain, ataupun pada tingkatan pendidikan yang lebih tinggi, misalnya di Perguruan Tinggi. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi dorongan atau dasar bagi peneliti untuk melakukan pengembangan lebih lanjut, sehingga produk yang dihasilkan bisa digunakan secara lebih luas dan kalau mungkin lebih mendalam.

4. Kegunaan Bagi Teknologi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan bisa memberkan sumbangan terhadap perkembangan Teknologi Pendidikan melalui pengembangan Media pembelajaran. Walaupun dalam praktek , media Hypertext sudah cukup sering digunakan, tetapi pengkajian dalam lingkup Teknologi Pendidikan masih relatif sedikit. Pemanfaatan teknologi hypertext dikaitkan dengan teori-teori pendidikanpun masih belum memadai.

Selain itu, penelitian diharapkan juga bisa memberikan sumbangan dalam pengembangan Sistem Disain Instruksional, melalui pengembangan Model Disain Hypermedia-nya. Dengan model disain ini, diharapkan bisa menjadi pelengkap atau pendamping dari sistem disain instriksional konvensional yang banyak digunakan saat ini.


BAB II. KAJIAN PUSTAKA

A. Pengeratian Hypertext

Dalam terminologi yang diberikan oleh Konsorsium W3 [7], hypertext diartikan sebagai suatu teks yang tidak dibatasi oleh linieritas (Text which is not constrained to be linear [8]). Definisi ini disamakan dengan Hypermedia, dimana Hypermedia dinyatakan sebagai Multimedia Hypertext, dan digunakan dengan arti yang sama atau dapat saling dipertukarkan.

Neil Ridgway menyatakan bahwa Hypertext adalah perluasan dari bentuk tradisional ‘flat’ atau linier text menjadi text yang tidak linier [9]. Ridgway mencontohkan penggunaan sistem komputer yang baru yang memungkinkan penggunanya membuat refrensi dari bagian mana saja didalam teksnya ke suatu tempat, baik dalam dokumen atau file yang sama ataupun ke dokumen atau file eksternal. Hypertext juga sering disebut sebagai non linier text, karena dalam bagian-bagian tertentu bisa merujuk ke bagian lain secara tidak sekuen sesuai dengan alamat rujukan yang diberikan. Rujukan atau Link ini diantaranya yang membedakan dengan teks konvensional sebelumnya. Pembaca bisa mengikuti jalur sesuai dengan prefrensinya, dan tidak harus melalui jalur yang sama.

Nancy Kaplan dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal Computer-Mediated Communication Magazine [10] mendefinisikan Hypertext sebagai : multiple structurations within a textual domain. Kaplan mencontohkan dengan sebuah buku yang bisa dibaca kapan saja, dimulai dari bagian mana saja, dan bagian-bagian tersebut bisa memiliki hubungan dengan bagian lain. Dia mencontohkan suatu bentu yang disebutnya sebagai proto – hypertext dalam bentuk cetakan seperti Ensiklopedia, kamus, dan bentuk-bentuk buku manual atau buku panduan. Dimana pembaca bisa mulai dari bagian mana saja sesuai dengan keinginannya, dan setelah itu bisa pergi ke bagian atau halaman mana saja sesuai dengan kebutuhannya. Contoh lain yang diberikan Kaplan adalah program pertelivisian di Inggris yang disebut CEEFAX, dimana dengan menggunakan beberapa tombol yang ada di remote kontrol kita bisa mengakses atau melihat daftar acara yang disajikan berikut detail keterangan dari masing-masing acara tersebut.

George P. Landow mendefinisikan hypertext sebagai : text composed of blocks of words (or images) linked electronically by multiple paths, chains, or trails in an open-ended, perpetually unfinished textuality described by the terms link, node, network, web , and path [11] . Landow mendefinisikan sebagai satu kumpulan kata-kata atau gambar, yang terhubung secara elektronik dengan banyak jalur, kaitan, atau jejak yang terbuka , secara terus-menerus tidak pernah selesai secara tekstual, yang dijelaskan dengan terminologi link, simpul, jaringan, web dan jalur. Definisi Landow menekankan pada kumpulan kata atau gambar. Kata ini saling terkait, dan bisa melalui beberapa jalur (bukan satu jalur saja). Kaitan antar kumpulan ini terus berkembang dan kemungkinan tidak ada habisnya. Landow juga memberikan penekanan pada terminologi link yang menunjukkan hubungan, node yang menunjukkan masing-masing simpul atau bagian, jaringan dan web yang berguna untuk menjadi prasarana penghubung masing-masing simpul.

Darlene Cardillo & Kimberly Kenyon dari University at Albany menjelaskan Hypertext sebagai suatu bentuk presentasi nonlinier dengan banyak pilihan jalur informasi, yang memungkinkan pembaca berinteraksi secara interaktif dengan setiap teks [12]. Lebih jauh dijelaskan hypertext telah membuat bentuk baru dari lingkungan membaca dan menulis yang mendukung pengembangan materi pembelajaran secara interaktif seperti jurnal akademik, ensiklopedia, refrensi, serta bentuk elektronik teks lainnya.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat dilihat adanya beberapa persamaan mengenai hypertext. Dimana hypertext dianggap sebagai bentuk teks yang tidak linier, memiliki link atau terhubung ke teks lain – baik internal maupun eksternal, dan dapat dikembangkan secara bersama-sama. Hypertext juga mengandung unsur elektronik, baik dalam pembuatan, pengaksesan, maupun pengembangan. Walaupun ada bentuk cetak dari hyper text, tetapi sebagian besar menekankan hypertext sebagai media yang diakses secara elektronik.

B. Sejarah Hypertext

Istilah hypertext sendiri sudah digunakan sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Bahkan di tahun 1945, sudah ada tulisan yang ‘memimpikan’ suatu mesin yang bisa berfungsi sebagai mesin hypertext. Beberapa perkembangan yang dapat dicatat dalam sejarah antara lain sebagai mana dikemukakan oleh Jacob Nielsen dalam Short Hystory of Hypertext [13] :

1945 Vannevar Bush mengajukan proposal mesin Memex
1965 Ted Nelson menggunakan istilah "hypertext" dalam buku Literary Machines
1967 The Hypertext Editing System and FRESS, Brown University, Andy van Dam
1968 Doug Engelbart dan beberapa peneliti mendemokan NLS system
1978 Aspen Movie Map hypermedia videodisk pertama , Andy Lippman, MIT
1984 Filevision dari Telos; hypermedia database dibuat untuk komputer Macintosh
1985 Symbolics Document Examiner, Janet Walker
1985 Intermedia, Brown University, Norman Meyrowitz
1986 OWL memperkenalkan Guide, hypertext untuk umum pertama
1987 Apple memperkenalkan HyperCard, Bill Atkinson
1987
Hypertext'87
menyelenggarakan konfrensi pertama mengenai hypertext
1991 World Wide Web di CERN menjadi global hypertext pertama, Tim Berners-Lee
1992 New York Times Book Review , cerita sampul hypertext fiksi
1993 Mosaic, National Center for Supercomputing Applications
1993 A Hard Day's Night film berformat hypermedia pertama
1993 Hypermedia encyclopedias terjual lebih banyak dari bentuk cetakannya

Nielsen melihat perkembangan hypertext berdasarkan tonggak (mile stone) dimana terjadi perkembangan yang cukup signifikan dalam sejarah. Pengembangan ini berupa alat, teknologi, ataupun penggunaan hypertext itu sendiri. Nielsen menganggap ide dari Vannevar Bush mengenai mesin pintar dengan link-link nya yang bisa tersimpan sebagai ide awal pengembangan hypertext.

Neil Ridgway menganggap ada tiga tokoh utama yang paling penting dibalik pengembangan hypertext. Tokoh-tokoh tersebut adalah Vannevar Bush, Engelbert, serta Nelson dengan ide dan ciptaannya masing-masing [14] .

1. Pertama adalah Vannevar Bush dengan mesin Memex-nya. Tahun 1945 Bush sudah memperkirakan akan pertumbuhan literature sain yang sangat pesat, dan dia berkeinginan untuk menciptakan suatu cara dimana informasi dalam jumlah besar dapat dilihat (browse) sekaligus. Dalam salah satu artikelnya, Bush menjelaskan tentang bagaimana pikiran manusia bekerja dengan merangkai informasi. Dia mengaplikasikan konsep ini menjadi suatu mesin yang disebut Memex, yang memungkinkan pengguna merangkai beberapa potongan yang relevan menjadi suatu informasi, dari dokumen yang berbeda. Ide ini dikenang orang sebagai ide pertama yang menjelaskan hypertext.

2. Kedua adalah Doug Engelbarts dengan mesin oN Line System (NLS/ Augment) yang dibuatnya. Pada tahun 1963, Engelbarts menjelaskan suatu sistem komputer yang akan memperkaya kemapuan intelektual manusia, dengan memungkinkan pengguna berinteraksi menggunakan beberapa perangkat kerjasama khusus. Hasilnya adalah peningkatan dalam jumlah informasi yang bisa dikelola secara efektiv oleh kemapuan dasar manusia tersebut. NLS ini diimplementasikan 5 tahun kemudian pada Stanford Research Institute. Mesin ini memungkinkan pengguna merelasikan bagian antar dokumen atau dalam dokumen itu sendiri.

3. Nelson dengan sistem XANADU nya. Pada saat NLS sedang dibuat, Ted Nelson juga sedang mematangkan sebuah ide mengenai mesin pemerkaya kemapuan tersebut. Sistem yang diciptakan Nelson memungkinkan pengeditan atau perubahan isi dari dokumen yang ada sesuai dengan format aslinya saja. Dengan menggunakan link ke belakanag, maka isi dokumen asli dapat diketahui. Dokumen ini disimpan dalam satu media penyimpanan sehingga perubahan-perubahannya bisa dilacak dengan mudah. Sistem yang diciptakan Nelson ini memungkinkan penggunan membuat hubungan atau keterkaitan antar bagian dokumen. Nelson menuangkan idenya ini melalui sebuah buku yang diberi judul Literary Machines

C. Teori Fleksibilitas Kognitif

Beberapa orang peneliti dari University of Illinois, diantaranya Rand J. Spiro, Michael J. Jacobson, dan Paul J. Feltovich dalam tulisannya yang berjudul : “Cognitive Flexibility, Constructivism, and Hypertext: Random Access Instruction for Advanced Knowledge Acquisition in Ill-Structured Domains[15], mengemukakan kritiknya terhadap disain pembelajaran ‘tradisional’. Menurut mereka, mengikuti disain yang ada saat ini, instruktur menyajikan informasi menggunakan model linier. Contohnya adalah seperti video yang harus dilihat dari awal sampai akhir, atau buku teks yang harus dipelajari dari bagian satu hingga bagian akhir. Jika materi yang disajikan adalah materi yang terstruktur dengan baik, atau materi pelajaran yang sederhana, maka hal ini tidak menjadi permasalahan. Tapi jika domain dari pengetahuan tersebut adalah domain yang tidak terstruktur dengan baik, atau mengandung materi yang kompleks, maka instruksi yang sifatnya linier tersebut menjadi tidak efektif.

Lebih jauh, mereka menganggap instruksi yang bersifat linier dalam bentuk tutorial, perkuliahan, dan bentuk-bentuk lainnya akan gagal mencapai tujuan utama dari pendidikan karena terlalu menyederhanakan bentuk penyajian materi. Penyederhanaan ini menyebabkan ketidak-mampuan untuk melakukan transfer pengetahuan dalam domain yang baru dan bervariasi.

Salah satu tujuan kritikal dari banyak program pendidikan, terutama pendidkan profesional, adalah membantu siswa untuk mentransfer apa yang mereka pelajari kedalam situasi yang berbeda, dan terkadang unik. Kemampuan ini sering disebut sebagai “Cognitive Flexibility” [16] ( Fleksibilitas Kognitif ). Dalam fleksibilitas kognitif ini termasuk kemampuan untuk menghadirkan kembali pengetahuan dari perspektif kasus dan konsep yang berbeda, dan pada saat diperlukan dapat mengkonstruksikan konsep dan kasus tersebut untuk memahami suatu hal atau memecahkan suatu masalah. Menurut teori fleksibilitas kognitif, cara siswa berfikir sangat dipengaruhi oleh tipe struktur kognitif yang mereka bentuk sendiri pada saat mereka mempelajari atau menyimpan serta membentuk struktur pengetahuan mereka. Fleksibilitas Kognitif membutuhkan lingkungan pembelajaran yang fleksibel. Informasi harus bisa disajikan dalam berbagai cara, dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Metode instruksional yang fleksibel membantu siswa untuk mempelajari kontur dan kompleksitas dari material yang mereka pelajari, dan membantu mereka untuk bekerja dengan menggabungkan konten dari beberapa perspektif yang berbeda [17].

Komputer, dengan dukungan material yang tepat, adalah satu perangkat yang sangat sesuai dengan sistem instruksional yang fleksibel. Komputer dapat mendukung kebutuhan yang berbeda dalam menyajikan domain yang tidak terstruktur dan membantu siswa untuk mendalami lebih dari satu perspektif topik atau issue. Misalnya, sistem hypertext yang mendukung nonlinieritas, media multi dimensi yang dapat menyajikan permasalahan kompleks yang tidak dapat tersaji dalam sistem tradisional. Walaupun, tetap untuk diingat bahwa sistem tradisional tetap baik dan berhasil untuk domain ilmu pengetahuan yang terstruktur dengan baik atau permasalahan yang sederhana [18].Tapi jika informasi tidak sederhana serta tidak trestruktur dengan baik, dukungan komputer dan format hypertext akan sangat membantu dalam pendekatan instruksional yang fleksibel, yang sering disebut sebagai Random Access Instruction / Instruksi yang diakses secara acak [19]. Hal ini memungkinkan pembelajar untuk mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.

Spiro et.al, mengajukan teori yang konstruktivis dalam pembelajaran dan pelatihan yang berkaitan dengan materi yang kompleks, tidak terstruktur, yang harus diperlakukan secara berbeda dengan domain pengetahuan yang relatif sederhana. Spiro mencontohkan domain yang tidak tersetruktur dengan baik misalnya : sejarah, pengobatan, hukum, interpretasi lieratur, serta pendidikan guru dan sebagainya.

Menurut Walter Dick [20], Spiro berpendapat bahwa pendekatan pembelajaran untuk tingkat pemula (novices) akan menjadi tidak efektif jika diterapkan untuk transfer pengetahuan tingkat yang lebih tinggi ( higher level transfer skill ). Pada saat orang pertama kali mempelajari sesuatu, maka dia akan memisahkan dan mengkatagorikan pengetahuannya kedalam slot-slot tertentu. Tapi pada saat mulai belajar lebih advan dan mulai menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah, maka instruksi harus memiliki fokus pada multiple presentasi informasi. Kontent bisa saja dicakup beberapa kali untuk kebutuhan yang berbeda.

Masih menurut Dick, untuk pengetahuan dengan domain yang terstruktur dengan baik, pendekatan pembelajaran behavioris dapat bekerja dengan baik. Dengan kata lain, domain sederhana atau terstruktur bisa diajarkan dengan menggunakan metode linier yang tradisional. Tetapi jika domain tidak terstruktur atau kompleks, maka teori fleksibilitas kognitif akan lebih efektif.

Berkenaan dengan pendapat teori fleksibilitas kognitif, Merill [21] mengemukakan enam asumsi dasar sebagai landasan dari paham konstruktivis yang mendasari teori fleksibilitas kognitif, yaitu :

· Learning is Constructed. Orang belajar dari pengalaman. Ini adalah suatu bentuk proses dimana sesorang membentuk representasi internal dari hal luar.

· Interpretation is personal. Realitas tidak dapat dibagi. Apa yang dipelajari seseorang didasarkan pada interpretasinya pada pengalamannya.

· Learning is active. Pembelajaran mengambil peran aktif dalam proses membangun pengetahuan dari pengalaman

· Learning is Collaborative. Perkembangan konseptual berasal dari interaksi dengan orang lain dan penggunaan bersama multiple perspektif. Dengan berbagi persepektif, orang dapat merubah representasi internalnya.

· Learning is Situated. Pembelajaran harus diletakkan dalam situasi dunia nyata. Settingnya harus realistik.

· Testing is integrated. Testing seharusnya bukan merupakan aktivitas terpisah. Tetapi harus diintegrasikan dengan pengalaman belajar.

Teori Fleksibilitas Kognitif pada dasarnya mendukung semua asumsi dasar dari paham konstruktivis. Dimana hypertext yang menjadi alatnya, bisa memberikan pengalaman realistik yang berbeda dan autentik kepada setiap individu.

D . Sistem Desain Pembelajaran dan Sistem Desain Hypertext

Model disain sistem instruksional, sebagaimana dikemukakan oleh Dick & Carry [22], menyajikan langkah-langkah yang jika diikuti akan membimbing kita pada penciptaan suatu material instruksional yang efektif. Model ini tidak begitu memperdulikan keadaan perorangan individu dengan keberagaman pengetahuan dan motivasinya. Mereka semua dianggap memiliki suatu dasar yang kurang lebih sama, baik dalam pengalaman maupun dalam pengetahuan yang dimiliki. Lebih jauh lagi, tujuannya bukanlah pembelajar bisa mengetahui “x” atau memahami “y”, melainkan pembelajar bisa melakukan “z”. Semua hasil yang diharapkan bisa dijelaskan dengan terminologi behavior. Hal ini membuat evaluasi menjadi relatif sederhana. Keadaan ini sangat memadai jika pengetahuan bersifat prosedural dan bisa digambarkan secara sederhana. Tapi jika pengetahuan berasal dari domain yang kompleks, berkenaan dengan pengetahuan yang sifatnya deklaratif, membutuhkan pemikiran dan pemahaman yang tinggi, maka model instruksional seperti ini menjadi tidak efektif [23] .

Lebih jauh, Erevna menjelaskan langkah-langkah standar yang diperlukan dalam penyusunan model disain tradisional sebagai berikut :

· Identifikasikan tujuan instruksional untuk masing-masing modul dalam terminologi behavior, yang dapat dilakukan oleh pembelajar setelah selesai mengikuti instruksi.

· Breakdown kemampuan behavoiur kedalam tingkatan kemampuan yang lebih detail.

· Periksa hirarki yang sudah ditentukan, dan tentukan kemapuan dasar minimum yang diharapkan sebelum pembelajar mengikuti instruksi

· Performance Objektif.

· Buat test item berdasarkan Performance Objektif

· Kembangkan instruksi aktual

· Evaluasi efektivitas instruksi.

Langkah-langkah disain ini berbeda dengan yang diajukan oleh Spiro dalam Hypermedia Design Model-nya. Spiro menggunakan Geography Design Metaphor ( Metapora Disain Geograpi ). Spiro menekankan adanya perbedaan antara metapora disain dengan metapora instruksional . Metapora Disain berkenaan dengan bagaimana disainer mengelola domain pembelajarannya pada saat membuat atau menentukan lingkungan pembelajaran. Sedangkan Metapora Instruksional berkenaan dengan bagaimana pembelajar mengakses pengetahuan dalam lingkungan pembelajaran. Salah satu asumsi dasar disini adalah pembelajar lebih banyak mengikuti petunjuk dari media instruksional dari pada petunjuk guru didalam kelas. Aspek penting lain adalah perbedaan antara Design Goals ( tujuan disain ) dengan Learner Objectives ( Objektiv Pembelajar ). Design goals adalah pengetahuan yang diharapkan oleh desainer dapat dibentuk oleh pembelajar melalui lingkungan pembelajaran, sedangkan Learner Objectives adalah apa yang ingin dipelajari oleh pembelajar pada saat memasuki lingkungan pembelajaran.

Dalam ISD tradisional, penekanan lebih kepada Design Goals, sedangkan pada Hypermedia Design Model, ide dasarnya adalah Learner Objective lebih penting, tetapi dengan adanya petunjuk dari disainer maka pembelajar akan lebih mudah untuk mencapai objektifnya [24].

Erevna menggambarkan tahapan dalam Hypermedia Design Modelnya sebagai berikut :

Dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

· Tentukan Domain Pembelajaran

· Identifikasi Kasus-kasus dalam domain

· Identifikasi tema/ perspektif untuk mendapatkan penekanan

· Petakan beberapa jalur melalui kasus untuk menunjukkan tema

· Sediakan kendali akses pembelajar melalui kasus

· Dorong pembelajar untuk membuat refleksi diri.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan media pembelajaran dengan menggunakan hypertext. Dimana dalam disain pembelajaran , disain yang digunakan adalah hypermedia disain model. Hypertext dipilih karena diharapkan sesuai untuk materi pembelajaran yang domainnya tidak tersetruktur dengan baik atau cukup kompleks. Sedangkan hypermedia disain model digunakan karena paling sesuai untuk merancang konten yang akan digunakan melalui media hypertext. Penggunaan hypertext ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan siswa dengan latar belakang pengetahuan, pengalaman , serta kemampuan yang berbeda untuk bisa memahami sesuatu yang diharapkan oleh para disainer atau guru mereka.

Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah :

1. Membuat suatu materi pembelajaran berbasis hypertext, yang bisa digunakan untuk media pembelajaran dalam matapelajaran yang kompleks

2. Memberikan pengalaman praktis kepada siswa dan guru dalam penggunaan teknologi komputer pada proses pembelajaran, melalui penggunaan hypertext.

3. Melibatkan guru dalam penelitian ini sebagai kolaborator, sehingga mampu merancang domain, serta mempersiapkan tema dan persepektif dalam domain berdasarkan kasus yang sudah ditentukan.

4. Memberikan masukkan kepada sekolah atau lembaga pendidikan untuk mengembangkan dan menggunakan media dan model disain ini.

5. Memberikan masukkan kepada pembuat kebijakan kurikulum untuk bisa mempertimbangkan hypertext sebagai salah satu media pembelajaran, dan hypermedia disain sistem sebagai satu model disain pembelajaran.

Pada dasarnya penelitian ini bersifat kualitatif, sebab penelitian ini mengacu pada penemuan konteks, yang mengharapkan penemuan sesuatu yang nantinya bisa menjadi hipotesis dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Cresswoll mengemukakan [25] :

Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive naturalistic approach to its subject matter. This mean that qualitative researchers study things in their natural settings attempting to make sense of or interpret phenomena in term of meanings people being them. Qualitative research involves the studied use and collection of a variety of empirical material – case study, personal experience, introspective, life history, interview, observational, hystorical, interactional, and visual texts – that decribe routine and problematicc moments and meaning in individuals lives.

Penelitian kualitatif memiliki fokus multi metode. Peneliti kualitatif melakukan penelitian berdasarkan setting alamiah dari objek yang ditelitinya. Penelitian kualitatif juga berkenaan dengan pengumpulan data empiris, baik berupa studi kasus, pengalamana personal, hasil introspeksi, sejarah kehidupan, wawancara, observasi, sejarah, interaksi, serta catatan visual.

Secara khusus penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan, karena beberapa ciri penelitian tindakan dilakukan dalam penelitian ini. Misalnya peneliti terlibat dalam proses pembelajaran melalui kolaborasi dengan guru dalam pembuatan materi pembelajaran dan terlibat dalam penentuan bentuk materi. Peneliti juga berupaya untuk memecahkan masalah aktual yang dihadapi, serta peneliti berupaya untuk menemukan bagaimana terjadi hubungan dalam suatu konteks yang dipilih[26].

Penelitian tindakan bertujuan untuk mengembangkan sesuatu yang baru yang diharapkan dapat meningkatkan mutu hasil belajar siswa. Hal yang dikembangkan disini adalah Hypertext sebagai salah satu media pembelajaran, serta Hypermedia Disain Model sebagai salah satu bentuk disain pembelajaran.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Sekolah Menengah Umum Lab School yang terletak di Jl. Pemuda – Rawamangun. Objeknya adalah siswa yang sedang mengikuti pelajaran sejarah, dan guru sejarah yang bersangkutan. Matapelajaran yang akan menjadi objek penelitian adalah Sejarah.

Pelaksanaan uji coba instrument akan dilaksanakan pada semester ganjil 2006/2007, sedangkan perlakuan dan pengumpulan data akan dilakukan pada semester genap 2007. Tempat yang akan digunakan adalah Laboratorium Komputer yang ada di SMU Lab School Rawamangun.

C. Metode dan Disain Intervensi Tindakan

Penelitian Tindakan yang akan dilakukan disini menggunakan model yang diajukan oleh Stinger. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

  • LOOK. Dalam tahapan ini dikumpulkan semua informasi yang relevan. Kemudian buat gambaran yang menjelaskan keadaan atau situasi.
  • THINK. Eksplorasi dan analisis apa yang terjadi. Kemudian buat interpretasi dan penjelesan kenapa hal tersebut terjadi.
  • ACT. Buat rencana, implementasikan, kemudian lakukan evaluasi.

Model ini dipilih karena sederhana dan cocok untuk implementasi hypertext. Langkah-langkahnya tidak banyak dan sesuai dengan tahap-tahap pengembangan hypertext. Model ini juga sesuai dengan Model Disain Hypermedia. Dimana setelah pengumpulan informasi dan penetuan domain, diikuti eksplorasi, implementasi, serta diakhiri dengan evaluasi.

Berikut adalah gambaran dari langkah-langkah penelitian tindakan untuk implementasi hypertext :

Gambar 1, Siklus Penerapan dan Perbaikan Hypertext

Dalam penelitian ini, setelah hypertext pertama dibuat, maka masukan dari siswa akan dikumpulkan untuk mengetahui pendapat atau pandangan mereka tentang hypertext yang sudah dibuat tersebut. Masukan ini kemudian akan digabungkan dengan masukan dari para guru atau ahli yang terkait, dan hasilnya akan digunakan untuk merumuskan dan membuat hypertext yag kedua. Hypertext yang kedua ini, setelah mengalami uji coba dikelas, akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan hypertext pertama sehingga mendapatkan hypertext versi ketiga, dan selanjutnya.

Dalam setiap siklus diharapkan hypertext yang dibuat akan semakin baik dan mendekati kesempurnaan. Paling tidak bisa mengakomodasi kebutuhan sebagian besar siswa dan guru dalam proses pembelajaran.

Untuk pembuatan Model Disain Hypermedia, sesuai dengan langkah-langkah Penelitian Tindakan yang diajukan oleh Stringer, maka langkah-langkah yang dilakukan dalam model disain ini adalah :

  • LOOK. Definisikan Domain Pembelajaran. Identifikasikan Kasus dalam Domain. Selanjutnya identifikasikan tema dan prespektif.
  • THINK. Berdasarkan analisis dan interpretasi, buat kontrol navigasi antar kasus. Petakan jalur-jalur hubungan antar kasus.
  • ACT. Implementasikan, kemudian buat evaluasi. Evaluasi didasarkan pada refleksi diri siswa serta pada pandangan guru yang bersangkutan.

D. Partisipan dalam Penelitian.

Partisipan dalam penelitian ini adalah para guru dan siswa yang terlibat dalam pengembangan penggunaan media hypertext ini. Peneliti akan berkolaborasi dengan para guru untuk menentukan konten dari hypertext yang dibuat. Selanjutnya, akan mengumpulkan masukkan dari siswa secara aktif ( terlibat di dalam laboratorium komputer ) untuk perbaikan.

Konsep-konsep konten domain dan tema serta perspektif hypertext akan dikonsultasikan dengan orang-orang yang berkompeten dalam pendidikan sejarah seperti Prof. Dr. Diana Nomida M. dan Prof. Dr. Asmaniar dari UNJ, Drs Suranto. MPd dari UNEJ, serta Dr. M. Sukarjo dari SMU Lab.School.

E. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian

Dalam penelitian ini, peran peneliti yang pertama adalah menggali informasi dari para guru mengenai konten dari domain pembelajaran yang diharapkan. Berdasarkan konten ini kemudian peneliti akan menterjemahkan kedalam bentuk hypertext. Hypertext ini akan dibahas bersama pada ahli sebelum diuji cobakan.

Pada saat uji coba, peneliti akan mengamati interaksi antara siswa dengan media hypertext, serta siswa dengan guru. Kemudian peneliti akan mendapatkan masukkan dari siswa dan guru mengenai keadaan dan kesesuaian hypertext tersebut. Berdasarkan masukkan, peneliti akan memperbaiki – sejauh memungkinkan. Hasil perbaikan ini akan dikonsultasikan dengan ahli yang terkait sebelum diuji cobakan.

Siklus ini akan berulang, setidaknya dalam empat putaran. Dalam empat putaran ini, diharapkan hypertext yang dibuat sudah akan semakin baik dan dapat memenuhi kebutuhan siswa dan guru.

Peran peneliti yang lainnya adalah membantu guru untuk menjelaskan konsep penggunaan hypertext kepada siswa – jika diperlukan. Peneliti juga akan menjelaskan konsep bekerjanya hypertext dan pembuatan hypertext kepada para guru jika memungkinkan.

Disini, selain berperan sebagai pembuat, penulis juga akan menganalisis penggunaan hypertext ini, dan berusaha men-sosialisasikan penggunaan hypertext kepada para siswa serta para guru.

F. Instrumen Pengumpul Data

Instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti, konten domain pembelajaran, angket siswa, evaluasi guru, serta produk hypertext yang dibuat dan digunakan.

Item-item yang akan diukur untuk mengetahui efektivitas penggunaan hypertext diantaranya adalah :

  • Tingkat Kognitif Siswa
  • Tingkat Kepuasan siswa terhadap penggunaan hypertext
  • Tingkat Kepuasan Guru terhadap penggunaan hypertext
  • Tingkat Kemampuan Siswa berinteraksi dengan hypertext
  • Tingkat Kemampuan Guru menggunakan Model Disain Hypermedia dalam pembuatan hypertext.

Instrumen yang akan digunakan sebagai ukuran efektivitas penggunaan hypertext adalah sebagai berikut :

No

Item yang diukur

Instrumen

Keterangan

1

Tingkat Kognitif

Test Hasil Belajar

Pengamatan

Mengukur efektivitas penggunaan hypertext dalam pembelajaran

2

Tingkat kepuasan siswa

Terhadap media hypertext

Angket penilaian siswa terhadap penggunaan hypertext

Mengukur pendapat siswa mengenai efek internal terhadap proses pembelajaran siswa

3

Tingkat kepuasan guru terhadap penggunaan Hypertext

Angket penilaian guru dan masukkan dari guru terhadap hypertext yang dibuat

Mengukur pendapat guru terhadap penerapan hypertext dan pencapaian hasil pembelajaran

4

Kemampuan siswa berinteraksi dengan Hypertext

Angket Siswa

Observasi

Mengetahui sejauh mana siswa dapat menggunakan media hypertext secara benar

5

Kemampuan guru berinteraksi dengan Hypertext

Angket Guru

Observasi

Mengetahui sejauh mana guru dapat menggunakan Model Disain Hypermedia dalam membuat hypertext.

Table 1. Instrumen Pengukuran Efektivitas Hypertext

DAFTAR PUSTAKA

Smithsonian Nasional Museum of American History, dalam web sitenya yang diakses pada Juli 2006, http://americanhistory.si.edu/collections/comphist/

Stanford Research Institute Archive, yang diakses pada Juli 2006 dari web sitenya http://vodreal.stanford.edu/engel/

Johanes Papu, Gelar Palsu & Kepribadian, www . e-psikologi.com, diakses Juli 2006

Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, www .pdk.go.id/Manajemen Pendidikan Masa Depan, diakses Juli 2006

Media Online, Gelar Kesarjanaan Palsu IMGI tersebar di 54 Kota, www. Mediaindo.co.id, diakses Agustus 2005

Gede Suadana, 3 Sekolah di Bali Tidak Lulus UN 100%, www. Detik.com, diakses Juli 2006

www. W3.org/WhatIs.htm pada Juli 2006

Neil Ridgway, Hypertext and Hypermedia, http:// www .mmrg.ecs.soton.ac.uk/ publications/archive/ridgway1998, diakses pada Juli 2006

Nancy Kaplan, Hypertext & E- Literacy, Computer-Mediated Communication Magazine / Volume 2, Number 3.

George P. Landow, The Definition of Hypertext and Its History as a Concept, Johns Hopkins University Press, 1992.

Darlene Cardillo & Kimberly Kenyon, Redefining Literacy: A Hypertext on Hypertext, University at Albany, www.albany.edu Jan 2006

Jacob Nielsen, Short Hystory of Hypertext, www. useit.com/alertbox/history.html , diakses Juli 2006

Neil Ridgway, Hypertext and Hypermedia, www. mmrg.ecs.soton.ac.uk/publications/archive/ ridgway1998/html/node18.html , diakses pada Juli 2006.

Rand J. Spiro (et.al), Cognitive Flexibility, Constructivism, and Hypertext: Random Access Instruction for Advanced Knowledge Acquisition in Ill-Structured Domains , http://phoenix.sce.fct.unl.pt/simposio , diakses pada Juli 2006

Dick, Walter, An Instructional designer’s view of constructivism, Educational Technology, 31(5), sebagaimana dikutip Stephanie R. Boger, ibid.

Merill MD, Constructivism and Instructional Design, Educational Technology, 31(5), sebagaimana dikutip Stephanie R. Boger, ibid

Dick & Carry (1990), The Systematic Design of Instruction, Harper Colins Publishers.

Erevna, Cognitive Flexibility and Hypermedia Design Model, http: //users.sch.gr/gepant/everna, diakses pada Juli 2006

Creswell, John W, Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing among five Traditions, California, Sage Publications, 1998.

Miarso, Yusufhadi, Riset Tindakan untuk Desertasi, makalah yang disajikan pada seminar sehari ‘Riset Tindakan Untuk Desertasi’, PPS UNJ, 2004