Sabtu, 29 September 2007

TEORI VALIDITAS

Konsep Validitas

Menurut Azwar (1986) para ahli psikometri telah menetapkan kriteria bagi suatu alat ukur psikologis untuk dapat dinyatakan sebagai alat ukur yang baik dan mampu memberikan informasi yang tidak menyesatkan. Kriteria itu antara lain adalah valid, reliabel, norma dan praktis.

Sifat reliabel dan valid diperlihatkan oleh tingginya reliabilitas dan validitas hasil ukur suatu tes. Suatu alat ukur yang tidak reliabel atau tidak valid akan memberikan informasi yang keliru mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai tes itu. Apabila informasi yang keliru itu dengan sadar atau tidak dengan sadar digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan, maka keputusan itu tentu bukan merupakan suatu keputusan yang tepat.

Seringkali pula keputusan itu tidak menyangkut individu secara langsung akan tetapi mengenai suatu kelompok. Dalam berbagai studi dan penelitian tidak jarang dipergunakan alat ukur untuk mengetahui keadaan atau status psikologis sekelompok individu tertentu.

Berikut ini akan dibahas antara lain adalah pengertian validitas, koefisien validitas, tipe-tipe umum pengukuran validitas, dan konsep pengukuran validitas.

a. Pengertian Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar 1986).

Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.

Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan pada validitas suatu alat ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A' atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A' atau B (Azwar 1986).

Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.

Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan yang sekecil-­kecilnya di antara subjek yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannnya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.

Demikian pula kita ingin mengetahui waktu tempuh yang diperlukan dalam perjalanan dari satu kota ke kota lainnya, maka sebuah jam tangan biasa adalah cukup cermat dan karenanya akan menghasikan pengukuran waktu yang valid. Akan tetapi, jam tangan yang sama tentu tidak dapat memberikan hasil ukur yang valid mengenai waktu yang diperlukan seorang atlit pelari cepat dalam menempuh jarak 100 meter dikarenakan dalam hal itu diperlukan alat ukur yang dapat memberikan perbedaan satuan waktu terkecil sampai kepada pecahan detik yaitu stopwatch.

Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan sebenarnya (Azwar 1986).

Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian, anggapan valid seperti dinyatakan dalam "alat ukur ini valid" adalah kurang lengkap. Pernyataan valid tersebut harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid bagi kelompok subjek yang mana?

Istilah validitas ternyata memiliki keragaman kategori. Ebel (dalam Nazir 1988) membagi validitas menjadi concurrent validity, construct validity, face validity, factorial validity, empirical validity, intrinsic validity, predictive validity, content validity, dan curricular validity.

§ Concurrent Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja.

§ Construct Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu dapat dapat menyebabkan kinerja yang baik dalam pengukuran.

§ Face Validity adalah validitas yang berhubungan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur.

§ Factorial Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktor-faktor yang yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya, dimana validitas ini diperoleh dengan menggunakan teknik analisis faktor.

§ Empirical Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran.

§ Intrinsic Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bahwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur.

§ Predictive Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerja seseorang di masa mendatang.

§ Content Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari suatu populasi.

§ Curricular Validity adalah validitas yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pengukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional.

Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu content validity (validitas isi), construct validity (validitas konstruk), dan criterion-related validity (validitas berdasar kriteria).

b. Koefisien Validitas

Bila skor pada tes diberi lambang x dan skor pada kriterianya mempunyai lambang y maka koefisien antara tes dan kriteria itu adalah rxy inilah yang digunakan untuk menyatakan tinggi-rendahnya validitas suatu alat ukur.

Koefisien validitas pun hanya punya makna apabila apalagi mempunyai harga yang positif. Walaupun semakin tinggi mendekati angka 1 berarti suatu tes semakin valid hasil ukurnya, namun dalam kenyataanya suatu koefisien validitas tidak akan pernah mencapai angka maksimal atau mendekati angka 1. Bahkan suatu koefisien validitas yang tinggi adalah lebih sulit untuk dicapai daripada koefisien reliabilitas. Tidak semua pendekatan dan estimasi terhadap validitas tes akan menghasilkan suatu koefisien. Koefisien validitas diperoleh hanya dari komputasi statistika secara empiris antara skor tes dengan skor kriteria yang besarnya disimbolkan oleh rxy tersebut. Pada pendekatan-pendekatan tertentu tidak dihasilkan suatu koefisien akan tetapi diperoleh indikasi validitas yang lain.

c. Tipe-tipe Umum Pengukuran Validitas

Tipe validitas sebagaimana disajikan sebelumnya, pada umumnya digolongkan dalam tiga kategori, yaitu content validity (validitas isi), construct validity (validitas konstruk), dan criterion-related validity (validitas berdasar kriteria).

1). Validitas Isi

Validitas isi merupakan validitas yang diperhitumgkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validasi ini adalah "sejauhmana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?" atau berhubungan dengan representasi dari keseluruhan kawasan.

Pengertian "mencakup keseluruhan kawasan isi" tidak saja menunjukkan bahwa alat ukur tersebut harus komprehensif isinya akan tetapi harus pula memuat hanya isi yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur.

Walaupun isi atau kandungannya komprehensif tetapi bila suatu alat ukur mengikutsertakan pula item-item yang tidak relevan dan berkaitan dengan hal-hal di luar tujuan ukurnya, maka validitas alat ukur tersebut tidak dapat dikatakan memenuhi ciri validitas yang sesungguhnya.

Gambar 3. Validitas Isi

Apakah validitas isi sebagaimana dimaksudkan itu telah dicapai oleh alat ukur, sebanyak tergantung pada penilaian subjektif individu. Dikarenakan estimasi validitas ini tidak melibatkan komputasi statistik, melainkan hanya dengan analisis rasional maka tidak diharapkan bahwa setiap orang akan sependapat dan sepaham dengan sejauhmana validitas isi suatu alat ukur telah tercapai.

Selanjutnya, validitas isi ini terbagi lagi menjadi dua tipe, yaitu face validity (validitas muka) dan logical validity (validitas logis).

Face Validity (Validitas Muka). Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah signifikasinya karena hanya didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan validitas muka telah terpenuhi.

Dengan alasan kepraktisan, banyak alat ukur yang pemakaiannya terbatas hanya mengandalkan validitas muka. Alat ukur atau instrumen psikologi pada umumnya tidak dapat menggantungkan kualitasnya hanya pada validitas muka. Pada alat ukur psikologis yang fungsi pengukurannya memiliki sifat menentukan, seperti alat ukur untuk seleksi karyawan atau alat ukur pengungkap kepribadian (asesmen), dituntut untuk dapat membuktikan validitasnya yang kuat.

Gambar 4. Validitas Muka

Logical Validity (Validitas Logis). Validitas logis disebut juga sebagai validitas sampling (sampling validity). Validitas tipe ini menunjuk pada sejauhmana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang hendak diukur.

Untuk memperoleh validitas logis yang tinggi suatu alat ukur harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi hanya item yang relevan dan perlu menjadi bagian alat ukur secara keseluruhan. Suatu objek ukur yang hendak diungkap oleh alat ukur hendaknya harus dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan konkrit. Batasan perilaku yang kurang jelas akan menyebabkan terikatnya item-item yang tidak relevan dan tertinggalnya bagian penting dari objek ukur yang seharusnya masuk sebagai bagian dari alat ukur yang bersangkuatan.

Validitas logis memang sangat penting peranannya dalam penyusunan tes prestasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atau tabel spesifikasi.

2). Validitas Konstruk

Validitas konstruk adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauhmana alat ukur mengungkap suatu trait atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya (Allen & Yen, dalam Azwar 1986).

Pengujian validitas konstruk merupakan proses yang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur.

Walaupun pengujian validitas konstruk biasanya memerlukan teknik analisis statistik yang lebih kompleks daripada teknik yang dipakai pada pengujian validitas empiris lainnya, akan tetapi validitas konstruk tidaklah dinyatakan dalam bentuk koefisien validitas tunggal.

Konsep validitas konstruk sangatlah berguna pada alat ukur yang mengukur trait yang tidak memiliki kriteria eksternal.



Gambar 5. Validitas Konstruk


3). Validitas Berdasar Kriteria

Pendekatan validitas berdasar kriteria menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksikan oleh skor alat ukur.

Untuk melihat tingginya validitas berdasar kriteria dilakukan komputasi korelasi antara skor alat ukur dengan skor kriteria. Koefisien ini merupakan koefisien validitas bagi alat ukur yang bersangkutan, yaitu rxy, dimana x melambangkan skor alat ukur dan y melambangkan skor kriteria.

Dilihat dari segi waktu untuk memperoleh skor kriterianya, prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas yaitu validitas prediktif (predictive validity) dan validitas konkuren (concurrent validity).


Gambar 6. Validitas Berdasar Kriteria

Validitas Prediktif. Validitas prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan untuk berfungsi sebagai prediktor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh situasi yang menghendaki adanya prediksi kinerja ini antara lain adalah dalam bimbingan karir; seleksi mahasiswa baru, penempatan karyawan, dan semacamnya.

Contohnya adalah sewaktu kita melakukan pengujian validitas alat ukur kemampuan yang digunakan dalam penempatan karyawan. Kriteria yang terbaik antara lain adalah kinerjanya setelah ia betul-betul ditempatkan sebagai karyawan dan melaksanakan tugasnya selama beberapa waktu. Skor kinerja karyawan tersebut dapat diperoleh dari berbagai cara, misalnya menggunakan indeks produktivitas atau rating yang dilakukan oleh atasannya.

Koefisien korelasi antara skor alat ukur dan kriteria merupakan petunjuk mengenai saling hubungan antara skor alat ukur dengan skor kriteria dan merupakan koefisien validitas prediktif. Apabila koefisien ini diperoleh dari sekelompok individu yang merupakan sampel yang representatif, maka alat ukur yang telah teruji validitasnya akan mempunyai fungsi prediksi yang sangat berguna dalam prosedur alat ukur di masa datang.

Prosedur validasi prediktif pada umumnya memerlukan waktu yang lama dan mungkin pula beaya yang tidak sedikit dikarenakan prosedur ini pada dasarnya bukan pekerjaan yang dianggap selesai setelah melakukan sekali tembak, melainkan lebih merupakan kontinuitas dalam proses pengembangan alat ukur. Sebagaimana prosedur validasi yang lain, validasi prediktif pada setiap tahapnya haruslah diikuti oleh usaha peningkatan kualitas item alat ukur dalam bentuk revisi, modifikasi, dan penyusunan item-item baru agar prosedur yang dilakukan itu mempunyai arti yang lebih besar dan bukan sekedar pengujian secara deskriptif saja.

Validitas Konkuren. Apabila skor alat ukur dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama, maka korelasi antara kedua skor termaksud merupakan koefisien validitas konkuren.

Suatu contoh dimana validitas konkuren layak diuji adalah apabila kita menyusun suatu skala kecemasan yang baru. Untuk menguji validitas skala tersebut kita dapat mengunakan skala kecemasan lain yang telah lebih dahulu teruji validitasnya, yaitu dengan alat ukur TMAS (Tylor Manifest Anxiety Scale).

Validitas konkuren merupakan indikasi validitas yang memadai apabila alat ukur tidak digunakan sebagai suatu prediktor dan merupakan validitas yang sangat penting dalam situasi diagnostik. Bila alat ukur dimaksudkan sebagai prediktor maka validitas konkuren tidak cukup memuaskan dan validitas prediktif merupakan keharusan.

Konsep Pengukuran Validitas

Pengukuran validitas sebenarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar (dalam arti kuantitatif) suatu aspek psikologis terdapat dalam diri seseorang, yang dinyatakan oleh skor pada instrumen pengukur yang bersangkutan.

Dalam hal pengukuran ilmu sosial, validitas yang ideal tidaklah mudah untuk dapat dicapai. Pengukuran aspek-aspek psikologis dan sosial mengandung lebih banyak sumber kesalahan (error) daripada pengukuran aspek fisik. Kita tidak pernah dapat yakin bahwa validitas instrinsik telah terpenuhi dikarenakan kita tidak dapat membuktikannya secara empiris dengan langsung.

Pengertian validitas alat ukur tidaklah berlaku umum untuk semua tujuan ukur. Suatu alat ukur menghasilkan ukuran yang valid hanya bagi satu tujuan ukur tertentu saja. Tidak ada alat ukur yang dapat menghasilkan ukuran yang valid bagi berbagai tujuan ukur. Oleh karena itu, pernyataan seperti "alat ukur ini valid" belumlah lengkap apabila tidak diikuti oleh keterangan yang menunjukkan kepada tujuannya, yaitu valid untuk apa dan valid bagi siapa. Itulah yang ditekankan oleh Cronbach (dalam Azwar 1986) bahwa dalam proses validasi sebenarnya kita tidak bertujuan untuk melakukan validasi alat ukur akan tetapi melakukan validasi terhadap interpretasi data yang diperoleh oleh prosedur tertentu.

Dengan demikian, walaupun kita terbiasa melekatkan predikat valid bagi suatu alat ukur akan tetapi hendaklah selalu kita pahami bahwa sebenarnya validitas menyangkut masalah hasil ukur bukan masalah alat ukurnya sendiri. Sebutan validitas alat ukur hendaklah diartikan sebagi validitas hasil pengukuran yang diperoleh oleh alat ukur tersebut.


Selasa, 25 September 2007

Selasa, 18 September 2007

PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERDASARKAN ISLAM

HIKMAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Prinsip-prinsip yang bisa kita gunakan dan kita timba dari Firman Tuhan untuk menolong kita mengambil keputusan diambil dari kisah Raja Rehabeam, yang kita baca dalam kitab I Raja-raja 12 : 3-11. Ada beberapa prinsip pengambilan keputusan yang bisa kita petik yaitu:

  1. Keputusan yang benar tidak mesti dikaitkan dengan bagaimana orang lain melihat diri kita. Di sini kita melihat Rehabeam ingin menunjukkan kekuasaannya dan keinginannya untuk dipandang berkuasa, hal itu telah membuatnya mengambil keputusan yang salah. Dengan kata lain adakalanya keputusan kita menjadi sangat salah, karena yang memotivasi kita mengambil keputusan itu bukanlah kita mempertimbang-kan keputusan yang benar, namun kita lebih mempedulikan bagaimanakah orang lain melihat kita. Kita ingin agar orang melihat kita sesuai dengan citra yang kita coba proyeksikan kepada orang lain. Yang penting kita memfokuskan mata kita pada permasalahannya.

  2. Keputusan yang benar didasari atas masukan dari sumber yang memahami duduk masalahnya. Kadang-kadang kita mempunyai pandangan dalam mengambil keputusan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, saya kira itu tidak tepat, bukan kumpulkan data sebanyak-banyaknya, melainkan kumpul-kan data setepat-tepatnya. Tepat dalam pengertian kita mencari sumber yang memang kompeten atau memahami duduk masalahnya, jangan sampai kita kumpulkan terlalu banyak pandangan dari orang-orang yang tidak kompeten.

  3. Keputusan yang benar berpijak pada konsep kebajikan yang universal, yaitu harus adil, penuh kasih dan juga harus baik. Jadi dalam pengambilan keputusan kita mesti bertanya aspek etisnya, aspek moralnya, apakah keputusan kita itu baik, apakah juga adil. Kadang-kadang baik untuk kita tetapi tidak baik untuk orang lain. Adil, apakah adil untuk kita dan untuk orang lain dan apakah ada unsur kasihnya, karena kasih adalah isi hati Tuhan yang paling dalam, yang juga harus kita miliki. Tuhan pernah mengajarkan kepada kita suatu perintah yang disebut hukum emas yaitu perbuatlah kepada orang lain sebagaimana kita inginkan orang perbuat kepada kita. Jadi kita bisa gunakan prinsip ini dalam pengambilan keputusan.

  4. Keputusan yang benar mesti mempertimbangkan dampak dari keputusan itu. Orang yang bijaksana akan selalu mengingat apa akibat keputusan saya ini terhadap diri saya dan apa akibatnya terhadap orang lain serta pada orang-orang lain juga.

  5. Keputusan yang benar muncul dari pergumulan dalam doa. Rehabeam tidak mencari Tuhan. Kita ingat sebelum Salomo mengemban tugasnya sebagai seorang raja, dia berdoa, dia meminta Tuhan memberikan hikmat dan itu yang Tuhan karuniakan. Jadi dalam kita mengambil keputusan jangan lupa untuk bergumul dalam doa, meminta Tuhan memimpin kita dan kita harus yakin setelah kita berdoa meminta pimpinan Tuhan, mulai detik itu Tuhan akan memimpin kita.

  6. Keputusan yang benar tidak selalu tampak dengan jelas. Kita hidup dalam masyarakat yang instan kita ingin segala sesuatu muncul dengan seketika. Tapi keputusan yang baik sering kali menuntut waktu yang panjang, tidak selalu jelas apa itu keputusan yang baik yang kita bisa ambil. Jadi perlu ada waktu untuk mendinginkan kita dan membuktikan motivasi kita yang sebenarnya.

  7. Keputusan yang benar tidak menutup kemungkinan muncul dari keputusan yang salah. Jadi adakalanya kita keliru mengambil keputusan yang salah, kita belajar kesalahannya apa dan belajar mengenal yang benar itu apa. Nah, justru keputusan yang salah menjadi batu pijakan atau batu loncatan yang membawa kita masuk ke dalam keputusan yang benar. Jadi intinya adalah bersedialah untuk meminta maaf jika menyadari bahwa kita telah membuat keputusan yang salah.

  1. Siddiq berarti benar dan perkataan dan perbuatan. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosuladalah seorang pembohong yang suka berbohong.
  2. Amanah artinya terpercaya atau dapat dipercaya. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosuladalah seorang pengkhianat yang suka khianat.
  3. Fathonah adalah cerdas, pandai atau pintar. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul adalahseorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa.
  4. Tabligh adalah menyampaikan wahtu atau risalah dari Allah SWT kepada orang lain. Jadimustahil jika seorang nabi dan rosul menyembunyikan dan merahasiakan wahyu / risalah AlaahSWT.

Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), Islam dan
demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal
dari proses pemikiran manusia. Dengan demikian, agama memiliki tata aturannya
sendiri. Namun begitu, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan
demokrasi. Dalam perspektif Islam terdapat nilai-nilai demokrasi meliputi:
syura,musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyahSyura merupakan suatu
prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara lugas ditegaskan dalam
Alquran.

Misalnya saja disebut dalam QS Assyura ayat 38 dan Ali Imran ayat 159. Dalam
praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana
syura adalah ahl halli wa-l'aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini
lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah
(Madani, 1999: 12). Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan
pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah
keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan
bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat
yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

Di samping itu, prinsip al-muwasah adalah kesejajaran. Artinya tidak ada pihak
yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya.
Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter
dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi
menghindari hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi
wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil
untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah
dibuat. Oleh sebab itu, pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan
rakyat dan Tuhan. Dengan begitu, pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan
perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil.

Sebagian ulama memahami al-musawah ini sebagai resultan dari prinsip al-syura
dan al-'adalah. Di antara dalil Alquran yang sering digunakan dalam hal ini
adalah surat Alhujurat ayat 13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara
lain tercakup dalam khutbah wada' dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim
(Tolchah, 199:26).

Nilai-nilai Islam yang sejalan dengan demokrasi masih banyak. Di antaranya
al-masuliyyah atau tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan
dan jabatan itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan alat
untuk memperkaya diri dan sewenang-wenang. Maka rasa tanggung jawab bagi
seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini
mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di
depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa
merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat
manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban
(al-masuliyyah) ini, diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan
sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas.

Dengan demikian, pemimpin atau penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai
penguasa umat, melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Oleh karena
itu, kemaslahatan umat senantiasa harus menjadi pertimbangan dalam setiap
pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
harus menghamba pada penguasa.

Dengan mengulas langsung ke nilai-nilai ajaran Islam itu maka tesis Huntington
dan Fukuyama yang mengatakan: ''bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak
kompatibel dengan demokrasi'' adalah tidak seluruhnya benar. Karena belum
menyentuh ke subtansi ajaran Islam dan heteregonitas di dalam dunia Islam.

Jumat, 07 September 2007

nikah

pernikahan adalah.......