Selasa, 22 April 2008

Belajar Menulis Dari Seorang Ibn Rushd

oleh: Kris Bheda

Belajar Menulis Dari Seorang Ibn Rushd

Averroes adalah nama lain Latin untuk Ibn Rushd, yang nama lengkapnya Abu'l-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rushd. Dia lahir di Cordoba (1126-1198) dari keluarga ahli hukum yang dari generasi ke generasi dikenal sebagai qadi dan fiqih. Dia juga dikenal sebagai penjelajah ilmu pengetahuan yang tangguh; menguasai pengetahuan islami dan kesustraan Yunani, seperti fiqh, teologi, ketabiban, astronomi dan juga filsafat. Pada tahun 1182, dia menjadi qadi al-Qudah (jaksa agung) di Cordoba dan Sevilla merangkap sebagai tabib istana menggantikan Ibn-Tufayl rekannya.

Perjalanan sejarah filsafat mencatat Ibn Rushd sebagai filsuf Islam paling berpengaruh dalam periode Skolastik Awal (800-1200) Bahkan karya-karyanya menjadi tulang kokoh perkembangan filsafat Abad Pertengahan (abad 5 - 17). Andai saja Averroes tidak pernah dilahirkan, dan kalau pun lahir dan hidup tetapi tidak berkutat dengan persoalan filsafat, sudah barang tentu perjalanan sejarah filsafat Abad Pertengahan akan berjalan pincang (tambahan pula, perkembangan sejarah teologis kristiani tidak akan seperti sekarang ini).

Sebagaimana diketahui dunia barat dapat berkenalan dengan karya Aristoteles (bukan hanya tentang Logika) secara lengkap dan komprehensif berkat jasa orang-orang Islam dari Arab. Dalam kaitan ini, Ibn Rushd adalah seorang pemikir Islam yang mempengaruhi dunia barat dengan komentarnya yang luas atas karya-karya asli Aristoteles yang sejatinya berbahasa Yunani (ketika itu di barat hanya mengenal bahasa Latin). Selanjutnya, jika pada puncak Abad Pertengahan (sering disebut sebagai periode Skolastik Puncak/abad 12-13) Aristoteles diakui secara menyeluruh sebagai Sang Filsuf Utama, maka Ibn Rushd adalah Sang Komentator Utama atasnya.

Kekokohan bangunan filsafat Ibn Rushd terletak pada penegasan harmonisasi antara teologi (Islam-al-Quran) dan filsafat Aristoteles), yang secara lengkap tertuang dalam eseinya yang berjudul Fasl al-maqal fima baya al-shari'ah wal-hikmah min ittisal. Menurutnya, agama sejati (Al-Quran) dan akal budi tertinggi (filsafat Aristoteles) tidak dapat dipertentangkan, melainkan satu dan dapat didamaikan. 'Hikyat hiya sahabat al-shari'at wa'ahat al ruzdat', yang artinya "Filsafat adalah sahabat putri dari agama dari saudari sesusu." Demikian sang filsuf berargumentasi.

Ketajaman analisisnya atas karya-karya Aristoteles dan kecerdasan menafsirkan ayat-ayat al-Quran menempatkan Ibn Rushd sebagai seorang pemikir Islam paling berpengaruh. Filsafat Aristoteles dijadikan sebagai 'pisau bedah' dalam membaca ayat-ayat al-Quran. dengan demikian, interpretasi yang tepat atas al-Quran sungguh cocok dengan ajaran sejati Aristoteles 'kebenaran tidak dapat menentang kebenaran'. Allah Aristoteles 'penggerak yang tidak dapat digerakkan', misalnya, adalah juga Allah dalam Ibn Rushd dalam al-Quran 'Allah Maharahim': keduanya sesungguhnya adalah satu prinsip abadi yang dengan kehendak-Nya menggerakkan segala sesuatu di dalam dunia materi dari kekal hingga kekal.

Akhirullkallam, meminjam istilah Petrus Abaelardus (1079-1142), penganut konseptualisme yang unik dari Paris, scito te ipsum, kenalilah dirimu sendiri, rupa-rupanya tepat untuk membaca jejak petualangan intelektual seorang Ibn Rushd.

Pertama-tama kita harus mengenal dan menerima agama yang kita imani sebagai yang benar. Mengenal secara filosofis tidak hanya membaca dan menghafal, tetapi lebih dari itu menyelami kedalamannya dan menjadi satu bagian dari perjalanan hidup kita. Agama harus dipandang sebagai pandangan hidup dan ajaran-ajarannya adalah normanya.

Selanjutnya, Ibn Rushd menghendaki pula agar dalam setiap ruang hening, kita membedah, menafsirkan dan mengalami inti ajaran agama dengan cerdas dan bijak. Belajar dari Ibn Rushd selain kita belajar mengimani Allah secara lebih bertanggungjawab, juga belajar bagaimana menganalisis dan menafsirkan setiap tema dalam kehidupan dengan cerdas dan bijak.

Penulis yakin kalau pun bukan buku agama atau filsafat yang dapat kita tulis, tetapi sepenggal khotbah atau refleksi pribadi pasti akan dapat kita coretkan dengan luapan rasa dan nalar kita.


Sumber : www.wikimu.com

Minggu, 20 Januari 2008

Gender dalam Perspektif Islam

Konsep Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. HT.Wilson memahami konsep gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.Meskipun kata gender belum termasuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun istilah tersebut telah lazim digunakan. Khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan dengan ejaan “jender” dan diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyyah) seseorang. Sedangkan studi sex lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukurah) dan perempuan (femaleness/unutsah). Untuk proses pertumbuhan anak kecil menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender.

Laki-Laki dan Perempuan dalam Al-Quran

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49). Para pakar mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki.Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1,”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan pasangannya adalah istri beliau yakni Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.

Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195, “Sebagian kamu adalah bahagian dari sebagian yang lain”. Ayat ini mengandung makna bahwa sebahagian kamu (laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya. Allah menegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 159, “Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”

Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan, “Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain. Laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya” (QS. An-Nisa’: 32)

Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.

Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.

Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.

Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kotab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.

Kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam.

Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai cara pandangnya dalam memandang, menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Dimana cara pandang Islam mengharuskan untuk menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan persoalan termasuk persoalan kepemimpinan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khasanah Islam, akan ditemukan bahwa para ulama mujahid empat madzab telah bersepakat bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam Al Qurthubi dalam tafsir Al Jami’liahkamil Qur’an mengatakan:

“Khalifah (kepala Negara) haruslah seorang laki-laki dan fuqoha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah)”.